Saturday, March 9, 2019

HUKUM POLIGAMI


a.      Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani “Polygamie”, yaitu poly berarti banyak dan gamie berarti istri. Jadi, poligami bisa dikatakan mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiia (KBBI), kata poligami diartikan sebagai sistem perkawinan yang memperbolehkan seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.[1]
b.      Asal-usul Poligami
Selama ini, banyak orang yang salah pemahaman tentang poligami. Mereka mengira poligami baru dikenal setelah Islam dan menganggap bahwa Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrem berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru, yang benar adalah berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami dipraktekkan secara luas di kalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir Kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, bahkan poligami yang tak terbatas.
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal.
Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut diantaranya riwayat dari Naufal bin Muawiyah. Ia berkata: “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah berkata “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat”. Pada riwayat lain Qais bin Tsabit berkata: “Ketika aku masuk Islam aku punya delapan istri. Aku menyampaikan hal itu kepada Rasul dan Beliau berkata “Pilih dari mereka empat orang”
Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Artinya, Islam memperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala.
Dengan demikian, terlihat bahwa praktek poligami dimasa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal.
1.      Pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat saja dan menceraikan selebihnya.
2.      Pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya.
Berdasarkan fakta sejarah sebagaimana dinukilkan diatas, kita dapat berkata bahwa sistem poligami seperti yang dipraktikkan oleh umat pada masa modern sekarang, termasuk umat Islam, merupakan kelanjutan dari syariat yang diamalkan oleh umat-umat terdahulu. Bahkan didalam Islam, pelaksanaannya jauh lebih teratur dengan persyaratan-persyaratan yang ketat, tidak boleh dilakukan semaunya sebagaimana dimasa silam.

c.       Poligami Menurut Hukum Positif Indonesia (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Pengertian poligami menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas tetapi pada intinya. Poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang. Masalah poligami merupakan masalah yang cukup kontroversial, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung adanya poligami berdasarkan pada kaidah ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra memandang poligami sebagai tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil.[2] Dengan demikian, dari aspek ketentuan hukumnya, ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut sudah cukup baik dalam arti secara tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami. Selain itu, penerapan poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui dan tidak lain ditujukan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan.
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dibenarkan.
Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh Undang-Undang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun  1974, yaitu :
Dalam Pasal 4 ayat (2) hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seseorang, apabila :
1)      Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2)      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)      Istri tidak dapat mmelahirkan keturunan.
Dalam Pasal 5 ayat (1), untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana yang termasuk dalam Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang ini harus dipernuhi syarat-syarat, sebagai berikut :
1)      Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
2)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3)      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Untuk kasus poligami ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristeri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.



Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,
{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}
“Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).
Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].
Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].
Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.



[1] Siti Musdah Mulia, ISLAM MENGGUGAT POLIGAMI, PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, hlm. 43
[2] Edi Darmawijaya, POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF, Vol.1 No,1 Maret 2015, hlm. 35-36.

No comments:

Post a Comment